Sesungguhnya manusia lebih banyak berpura-pura
dalam menegakkan keadilan, kebenaran dan kemanusiaan,
sebab di balik semua tindakannya yang tampak suci itu,
yang ada hanya kehendak berkuasa.
(Nietzshe)
Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran ini ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial, politik dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak (Tan Malaka,1927)
INGAT!
Pemodal Orde Baru masih dominan di Indonesia!
Mereka ada dimana-mana cuma berganti kulit saja!
“Oleh Karena Engkau, Kami Ada Dalam Bahaya Maut Sepanjang Hari”
Ketakutan yang berlebih akan kematian pada dasarnya adalah hal mendasar yang di miliki manusia. Oleh karena pada hakekatnya manusia memimpikan keabadian.
Menjadi abadi itulah yang menjadi motivasi bawah sadar manusia untuk melakukan sesuatu tindakan.
Mereka-reka keabadian yang diimpikan, maka manusia menciptakan “dunia abadi” sesudah alam kematian. Di dalam Yahudi, Kristen dan Islam disimbolkan dengan gagasan surga dan neraka. Dua konsep keabadian yang menjadi akhir manusia. Bila manusia hidup di dunia berbuat jahat, maka dia akan masuk dalam dunia neraka yang abadi. Sedangkan bila dia baik, maka dia akan masuk ke keabadian surga.
Sedangkan di dalam Hindu, dengan konsep reinkarnasi dan karmapala, manusia yang hidup di dunia melakukan tindakan jahat akan terlahir kembali ke dunia berkali-kali dengan karma (balasan) sesuai dengan apa yang telah dilakukan. Proses kelahiran kembali ke dunia merupakan sebuah penderitaan. Bila seseorang ingin terlepas dari penderitaan, maka dia harus berbuat baik. Bila seseorang mati dan tak terlahir lagi maka dia akan moksa (keabadian sejati). Saat manusia moksa maka dia telah terlepas dari penderitaan abadi. Dia tak lagi melewati proses reinkarnasi.
Keputusasaan manusia akan keabadian yang mereka impikan, menyebabkan manusia menciptakan konsep kiamat.
Manusia tersadar bahwa mereka memiliki keterbatasan; keterbatasan benda-benda akan waktu dan keterbatasan hidup akan waktu. Kiamat merupakan penanda besar semua keterbatasan. Sekaligus penanda besar akhir keterbatasan.
Dari penanda besar tersebut (kiamat), manusia menginginkan menuju sebuah dunia keabadian yang baru (surga dan neraka) ataupun sebuah proses penciptaan (dunia) baru.
Sialnya, konsep baik dan buruk merupakan hal yang tidak pasti. Artinya tidak ada kesepakatan bersama semua manusia untuk menyatakan “X” adalah buruk atau “X” adalah baik.
Jadi, benarkah agama-agama adalah sebuah pilihan frustasi manusia?
Jika ada kesempatan masuklah ke partai-partai besar, Belajarlah kau menjadi virus. Masuklah kau ke dalam sistem; gerogoti perlahan atau seranglah dengan cepat, menyebar dan langsung matikan!
Virus adalah agen infeksi yang sangat kecil, tak dapat dilihat dengan mikroskop cahaya, tidak ada metabolisme yang bebas dan hanya mampu bereplikasi dengan sel hospes yang masih hidup.
Tentu ini berbeda sekali dengan parasit. Parasit untuk mempertahankan hidupnya dia bergantung terhadap sel hospes. Maka, parasit takkan mungkin membunuh sel hospes. Artinya, parasit akan tetap membiarkan sel hospes hidup demi keberlangsungan hidupnya.
Sama halnya dengan seorang parasit sejati (kaum opportunis) dia akan mati-matian membiarkan sistem yang ada untuk tetap hidup.
Atau sial-sialnya jikalau sistem tempat dia bergantung melemah, maka dia akan segera berpindah ke sistem yang masih segar.
Seorang parasit akan membiarkan si hospes mencari sumber makanan sebanyak-banyaknya. Dia takkan pernah peduli dari mana sumber makanan itu diperoleh. Bagi seorang parasit, saat hospes memperbanyak makan maka dia pun akan mendapat bagian yang lumayan. Meski sistem si hospes sakit, seorang parasit takkan peduli. Tak ada kata perubahan bagi dia. Semakin stabil si hospes maka si parasit akan semakin mapan.
Di Indonesia tersayang ini, parasit politik yang paling banyak jumlahnya. Lihatlah, betapa orang dengan mudah berganti partai demi untuk tetap duduk sebagai anggota Dewan. Lalu dimana dia punya ideologi politik?
Masuklah ke partai-partai besar, organisasi massa besar, organisasi keagamaan dan jadilah virus bagi mereka. Gerogoti dan matikan!
Bukan menjadi parasit!
Fenomena kekerasan di dalam masyarakat seperti api dalam sekam. Dia terus ada dan ujungnya diharapkan akan menimbulkan kekacauan (chaos).
Ketika makin melebarnya jarak antara nilai pengharapan (value expectations) dengan nilai kemampuan (value capabilitics) untuk memenuhi harapan itu maka masyarakat akan mudah terpancing amarahnya. Masyarakat yang memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan barang-barang berharga (materiil maupun status kelas) namun tidak memiliki kesempatan atau kemampuan akan menjadi masyarakat yang depresi.
Sampai hari ini, masyarakat “makin merasa” kesulitan dalam perekonomian. Keluhan tentang harga minyak yang naik, kebutuhan pokok yang naik, penghasilan yang tidak ikut naik, kesempatan dalam pekerjaan yang makin sempit adalah catatan-catatan kecil yang akan menjadi sangat berarti bagi pendamba chaos.
Gunjingan-gunjingan personal tentang partai politik yang makin menjauh dengan massa pemilihnya setelah pemilu, juga merupakan masukan yang penting. Obrolan di warung-warung tentang kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan kepentingan partai dari pada kepentingan rakyat juga merupakan hal yang mesti dicatat dengan seksama. Artinya, semakin masyarakat tidak percaya dengan sistem yang telah ada, semakin partai politik beserta politikusnya dianggap busuk maka kesempatan untuk menyusupkan pemikiran kepada massa yang tidak puas akan semakin terbuka.
Kekacauan awal barangkali akan dipolitisir oleh kaum agamawan yang memiliki ambisi politik. Sebutlah, Front Pembela Islam (FPI) atau jejaring kecil ormas Islam utopis yang mendambakan negara ini dijadikan negara agama.
Apapun yang dilakukan mereka – yang seringkali – adalah tindakan-tindakan anarkhis “semau gue” akan memupuk rasa ketidakpercayaan massa terhadap tokoh agama yang memiliki ambisi politik dan akan menjadi akumulasi kejengkelan massa terhadap kedok-kedok agama. Dalam hal ini kaum agama akan kehilangan simpatinya dari masyarakat.
Tentu hal ini akan bisa menumbuhkan pemikiran bila doktrin agama seringkali menyempitkan cara pandang manusia. Kebosanan massa dengan doktrin-doktrin agama yang sempit akan memupuk massa untuk berpikir lebih logis.
Kesenjangan sosial ekonomi berbarengan dengan kesenjangan sosial politik merupakan faktor paling kuat pengaruhnya dalam perkembangan “fenomena Masyarakat yang Marah”.
Bila kesenjangan ini terus dipupuk oleh pemerintah, aparat, partai politik, pengusaha dan kaum agama maka akan tumbuh subur kekerasan kolektif dalam masyarakat.
Barangkali di kemudian hari akan ada sebuah drama tragedi yang sebenarnya tak diinginkan oleh semua manusia Indonesia.
Re!
“Maka akan kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini”
Keinginan-keinginan adalah awal dari siksaan dan penderitaan.
Manusia diberikan panca indera yang digunakan sebagai alat untuk menangkap segala hal di lingkungan dan kemudian dikumpulkan di otak. Otak – salah satu kelebihan manusia – berfungsi sebagai alat pikir. Otak dengan dibantu oleh hormon-hormon yang bekerja, merespon hasil tangkapan panca inderanya. Menjadikannya keinginan-keinginan untuk meniru, memiliki ataupun menguasai hal yang dia lihat.
Saat itulah sumber penderitaan berawal. Gelisah, kekhawatiran, was-was, cemas, tegang, pun rasa tertekan (depresi) muncul.
Dicuplik dari Aksi Massa Tan Malaka 1927
Budi Utomo – didirikan pada tahun 1908 – adalah sebuah partai yang semalas-malasnya di antara segenap partai-partai borjuis di Indonesia. Seperti seekor binatang pemalas, ia merasa sombong karena umurnya panjang. Karena ia tak mendapat cara-cara aksi borjuis yang radikal dan tidak berani mendekati dan menggerakkan rakyat maka dari dulu sampai sekarang, kaum Budi Utomo menghabiskan waktu dengan memanggil-manggil arwah yang telah lama meninggal dunia. Borobudur yang kolot, wayang, gamelan yang merana, semua hasil “kebudayaan perbudakan” ditambah dan digembar-gemborkan oleh mereka siang malam. Di dalam “lingkungan sendiri” kerapkali dukun-dukun politik itu menyuruh Hayam Wuruk – Raja Hindu atau setengah Hindu itu – dengan laskarnya yang kuat berbaris di muka mereka. Di luar hal-hal gaib itu, paling banter hanya dibicarakan soal-soal yang tak berbahaya. Di dalam Kongres Budi Utomo berkali-kali (sampai menjemukan) kebudayaan dan seni Jawa (?) dibicarakan. Soal yang penting, yaitu mengenai kehidupan rakyat di Jawa – jangan dikata lagi di seluruh Indonesia – tak pernah disentuh, apalagi diperbincangkan mereka. Belum pernah, barangkali, diadakan suatu aksi untuk memperbaiki nasib Pak Kromo yang tidak hidup di zaman Keemasan Majapahit, tetapi di dunia kapitalistis yang tak memandang bulu. Panjangnya umur Budi Utomo sebagian besar diperolehnya dari “mantera-mantera” pemimpinnya, dari hasil “main mata” dengan pemerintah dan dari hasil kelemahan teman seperjuangannya. Sebuah semangat kosong seperti Budi Utomo dapat diterima oleh pemerintah seperti Belanda.
Selain itu, Budi Utomo tidak menumbuhkan cita-cita “Kebangsaan Indonesia”. Fantasi “Jawa Raya”, yakni bayangan penjajahan Hindu atau setengah Hindu terhadap bangsa Indonesia sejati, langsung atau tidak langsung, menyebabkan timbulnya keinginan akan Sumatera Raya, Pasundan Raya atau Ambon Raya dan lain-lain.
Budi Utomo yang mengangkat kembali senjata-senjata Hindu-Jawa yang berkarat dan sudah lama dilupakan itu, sudah tidak taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum.
Perbuatan itu menimbulkan kecurigaan golongan lain yang mencita-citakan persaudaraan dan kerja sama antara penduduk di seluruh Indonesia (bukan antara penjajah satu terhadap lainnya).
Dengan jalan sedemikian, Budi Utomo menimbulkan gerakan kedaerahan yang bila perlu (misalnya bila Budi Utomo kuat), dengan mudah dapat dipergunakan imperialisme Belanda. Dengan keadaan seperti ini, keinginan “luhur” yang satu dapat diadu dengan yang lain, yang akibatnya sangat memilukan, Indonesia tetap jadi negeri budak.
DEKADE BERLALU
Untuk semua kawan – kawan yang dulu mengenakan ikat kepala dan mengangkat tinju kirinya, untuk kawan – kawan yang meninggalkan rumah dan bangku kuliah demi perlawanan dan keyakinan, untuk kawan – kawan yang terluka, tertembak, cacat dan gugur menjadi martir perubahan, dan untuk semua kawan – kawan yang masih bertahan dengan semangat dan keyakinan untuk menang!
Lampau adalah ruang yang telah terlewati..
Hari ini adalah sebuah penciptaan untuk masa depan..
Dan esok adalah harapan untuk kemenangan..
Dekade telah berlalu, namun deru panser – panser angkuh, water canon, suara kokang SS1, desingan peluru, bau gas airmata, dan bercak darah diaspalt masih tergambar membekas..
Dekade telah berlalu, mereka bilang trisakti dan semanggi bukan pelanggaran..
Dekade telah berlalu, tidak satupun jenderal diadili..
Dekade telah berlalu, kemiskinan tetap menjadi hantu..
Dekade telah berlalu, empat presiden tanpa perubahan yang baru..
Dekade telah berlalu, harga pupuk masih mahal dan petani masih seperti dulu..
Dekade telah berlalu, buruh garmen masih belum mampu beli baju..
Dekade telah berlalu, ibu belum mampu beli susu..
Dekade telah berlalu, inikah perubahan yang dulu kita inginkan? Sang raja boleh dijatuhkan tapi regime tidak pernah tumbang kawan!
Dekade telah berlalu, berkumpul, berpencar dan terpencar, kami masih dijalur yang lama..
Dekade telah berlalu, kawan datang dan pergi, namun perlawanan tidak akan pernah terhenti..
Dekade telah berlalu, jahitan luka di kepala menjadi tanda yang tak terlupa..
Dekade telah berlalu, apa sebenarnya yang kita perjuangkan kawan?
Dekade telah berlalu, inikah realitasnya? karena si buyung harus diberi makan dan disekolahkan..
Dekade telah berlalu, ”this is one way mission without no way return”
Dekade telah berlalu, kawan... kawan ... Apakah kita masih bersama?... kawan...
Kawan... sampai kapan?... sampai kapan kawan?...
Dekade telah berlalu,
kata Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata – kata..
Tahun 1993, Masih ingat berapa tahun vonis Nuku Sulaeman? Lima tahun penjara karena dia didakwa menghina presiden saat demo SDSB.
Pada tahun 1993, Nuku ditangkap ketika menggelar unjuk rasa di Gedung DPR/MPR. Kala itu dia kedapatan membawa stiker "SDSB" bersamaan gelombang aksi menentang peredaran Sumbangan Dana Sosial Berhadiah oleh pemerintah. Dia dituduh menghina Presiden Soeharto, karena stiker yang dibawanya bertulisan "Soeharto Dalang Segala Bencana", yang merupakan kepanjangan dari SDSB.
Tahun 1989, Bambang Isti Nugroho waktu itu adalah pengantar surat pada Laboratorium Analis Kimia Fisika Pusat UGM. Dia seorang peminat sastra dan buku politik. Dia kemudian diganjar 8 tahun penjara pada tahun 1989 karena kedapatan menjual buku karangan Pramudya Ananta Toer. Dua kawannya yang lain yakni Bambang Subono – mahasiswa Fakultas MIPA UGM – dihukum 7 tahun dan Bonar Tigor Naipospos kena 8 tahun 6 bulan.